Penuntasan Isu HAM Dibalik Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024-2029

Posthing.id – Bulan Mei Tahun 1998 merupakan bulan yang memiliki arti perjuangan Reformasi di Indonesia tepatnya 26 tahun yang lalu bulan ini menjadi saksi dari sejarah gelap pelanggaran berat HAM yang melibatkan aksi demonstrasi antara mahasiswa dengan aparat negara.

Beragam bentuk kekerasan, yakni pembakaran, penembakan, pemukulan, penjarahan, pemerkosaan, hingga penyiksaan dan pembunuhan terjadi mewarnai peristiwa tersebut. Hingga kini, amanat Reformasi terkait penegakan hukum dan HAM masih menjadi penggalan sejarah yang tak terselesaikan di tengah absennya kemauan politik untuk mengusut tuntas kasus – kasus pelanggaran berat HAM.
Komnas HAM merupakan lembaga yang telah ditunjuk untuk melakukan penyelesaian peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi pada bulan Mei 1998 dalam berkas penyelidikan (1) Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, (2) Kerusuhan 13-15 Mei1998, dan (3) Penghilangan Paksa.

Kecacatan negara dan institusinya telah menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, di antaranya adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie yang ditembaki aparat dalam aksi protes pada 12 Mei 1998. Kemudian peristiwa itu disusul dengan pelanggaran masif yang terjadi pada periode 13-15 Mei 1998.

Catatan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 menyebutkan ada sekitar 168 orang yang menjadi korban perkosaan dan pelecehan seksual. Sementara korban jiwa mencapai 1.190 orang yang di antaranya merupakan korbantembakan, terbakar, dan luka akibat penyiksaan. Meskipun sejumlah pelaku penembak dalam Tragedi Trisakti telah mendapatkan hukuman pidana, akuntabilitas negara selalu dipertanyakan selama aktor intelektual dan dalang kekerasan dianggap masih ada dan tidak diadili. Keluarga korban Tragedi Berdarah itu hingga saat ini belum memperoleh keadilan dan terus menuntut, menggugat, dan memperjuangkan agar Negara bertindak serius menuntaskan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan secara hukum.

Terbitnya Keppres 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu (PPHAM) menjadi bukti bahwa Indonesia adalah Negara impunitas. Tidak semua korban keluarga korban pelanggaran HAM berat terdata, korban keluarga korban yang menerima penyelesaian secara non-judisial tidak semuanya diberi pemulihan sesuai isi Keppres 17/2022. Bahkan terberitakan bahwa tugasPelaksana Rekomendasi Tim PPHAM (Keppres 4/2023) telah selesai pada akhir tahun 2023.

Dalam pidato peluncuran program pelaksanaan penyelesaian secara non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia pada 12 Juni 2023 di Kab. Pidi Prov. Aceh terucap kata Bapak Presiden: “Dan pada bulan Januani lalu saya telah memutuskan bahwa Pemerintah menempuh cara non-yudisial yang fokus pada pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial”. Namun, pengakuan Negara terhadap 12 perkara pelanggaran HAM berat namun hingga saat ini belum satu pun dipertanggung jawabkan secara yudisial. Bahkan Presiden selaku Kepala Negara dianggap tidak kunjung serius dalam penanganan kasus HAM tersebut karena tidak memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan.

Terpilihnya Prabowo Subianto yang dianggap oleh beberapa aktivis mahasiswa sebagai pelanggar HAM telah terpilih menjadi Presiden RI 2024-2029. Ini semakin menggaris bawahi menguatnya impunitas di Indonesia.

Proses kampanye politik hingga akhir pemilihan, yang dipenuhi oleh berbagai kejanggalan, seakan mencuci bersih rekam jejak praktik kejahatan terhadap warga sipil. Siklus kekerasan tidak kunjung terputus karena pelaku dan segenap aktor strategis di balik berbagai tragedi kemanusiaan tidak pemah menerima konsekuensi hukum yang adil.

Ketua Kawula Muda Nusantara yaitu Ahmad Nabil menjelaskan, “Hingga saat ini proses penuntasan Tragedi Trisakti, Peristiwa Mei 1998 serta kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya dianggap mengecewakan dengan terhentinya proses aduan maupun pengusutan di Kejaksaan Agung”.

“Pemerintah terus menerus menolak memproses kasus pelanggaran beral HAM dengan dalih kurangnya bukti. Padahal, banyak saksi dan korban masih hidup, sementara terduga pelaku masih melenggang bebas di lingkaran kekuasaan, maka kami Kawula Muda Nusantara akan berusaha menjadi media penghubung yang baik antara mahasiswa dengan Pemerintah dalam penuntasan kasus HAM di tanah air, kami yakin Pemerintah masih ada hati dalam menuntaskan kasus tersebut”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *